Suatu
hari, Khalifah Abu Bakar al-Shidiq kembali dari pasar. Di rumah, beliau melihat
segelas susu murni di atas meja. Karena rasa haus akibat aktivitas yang
melelahkan, beliau meminum susu tersebut tanpa curiga sedikit pun tentang
asal-usul segelas susu tersebut.
Saat itu, pembantu beliau masuk rumah dan menyaksikan tuannya telah menghabiskan segelas susu yang dia letakkan di atas meja, selanjutnya ia berkata, ''Ya Tuanku, biasanya sebelum engkau memakan dan meminum sesuatu pasti menanyakan lebih dulu asal-muasal makanan dan minuman tersebut, mengapa sewaktu meminum susu tadi engkau tidak bertanya sedikit pun tapi langsung meminumnya?'' Dengan rasa kaget, Abu Bakar bertanya, ''Memangnya susu ini dari mana?'' Pembantunya menjawab, ''Begini, ya Tuanku, pada zaman jahiliyah dulu dan sebelum masuk Islam, saya adalah kahin (dukun) yang menebak nasib seseorang.
Saat itu, pembantu beliau masuk rumah dan menyaksikan tuannya telah menghabiskan segelas susu yang dia letakkan di atas meja, selanjutnya ia berkata, ''Ya Tuanku, biasanya sebelum engkau memakan dan meminum sesuatu pasti menanyakan lebih dulu asal-muasal makanan dan minuman tersebut, mengapa sewaktu meminum susu tadi engkau tidak bertanya sedikit pun tapi langsung meminumnya?'' Dengan rasa kaget, Abu Bakar bertanya, ''Memangnya susu ini dari mana?'' Pembantunya menjawab, ''Begini, ya Tuanku, pada zaman jahiliyah dulu dan sebelum masuk Islam, saya adalah kahin (dukun) yang menebak nasib seseorang.
Suatu kali setelah saya ramal nasib seorang pelanggan, dia tidak sanggup
membayar karena tidak punya uang, tapi dia berjanji suatu saat akan membayar.
Tadi pagi saya bertemu di pasar dan dia memberikan susu itu sebagai bayaran
untuk utang yang dulu belum sempat dia bayar.'' Mendengar itu, langsung Abu
Bakar memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut dan mengoyang-goyangkan anak
lidah agar muntah. Beliau berusaha untuk mengeluarkan susu tersebut dari
perutnya, dan tidak ingin sedikit pun tersisa. Bahkan dalam riwayat itu
disebutkan, beliau sampai pingsan karena berusaha memuntahkan seluruh susu yang
telanjur beliau minum dan berkata, ''Walaupun saya harus mati karena
mengeluarkan susu ini dari perut saya, saya rela.''
Banyak disebutkan
dalam kisah para sahabat Nabi, para salafu al shalih sangat menjaga setiap
makanan dan minuman sebelum masuk ke dalam perut. Ketika mereka sudah
benar-benar yakin bahwa makanan tersebut halal seratus persen, barulah mereka
berani memakannya, tapi kalau masih berbau syubhat apalagi haram mereka tidak
mau memakannya, walaupun harus kelaparan. Para salafu al shalih sangat takut
kepada hadis Nabi, ''Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram, maka api
neraka lebih pantas untuknya.'' Di samping itu, mereka sangat yakin bahwa
makanan adalah sumber tenaga dan inspirasi untuk tubuh dan otak. Makanan yang
halal akan membuat tubuh gampang untuk melaksanakan ibadah.
Kehati-hatian mereka juga untuk keluarga. Mereka tidak mau memberi
makanan yang haram kepada keturunannya agar melahirkan sifat terpuji, karena
yakin ketika keluarga diberi makanan yang haram, jangan diharapkan istri dan
anak kita akan membawa kedamaian di tengah keluarga. Sang anak dan istri akan
jauh dari sifat shalih dan shalihah. Istri-istri di zaman sahabat dan salaf al
shalih selalu berpesan kepada suaminya sebelum berangkat kerja, ''Wahai suamiku,
kami kuat menahan lapar, tapi tidak kuat terhadap api neraka, carilah rezeki
yang halal untuk kami.''
republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar