Kalangan
Syafiiyyah dan Hanabilah dalam pendapat utama mereka memandang bahwa di antara
syarat wajib zakat adalah keberadaan nishab sepanjang tahun dari awal hingga
akhir, dan jika nishab berkurang dalam perjalanan masa setahun, walaupun
sedikit, terputuslah hitungan tahunnya sehingga tidak wajib zakat pada akhir
tahun. Mereka mengatakan bahwa jika seseorang mempunyai empat puluh ekor
kambing, kemudian mati seekor, lalu lahir seekor pula, terputuslah haulnya dan
tidak wajib zakat. Jika kematian dan kelahiran terjadi dalam waktu yang
bersamaan, berarti haulnya tidak terputus, sama halnya jika kelahiran lebih dulu
dari kematian. Mereka berhujah dengan keumuman hadis, "Tidak wajib zakat pada
suatu harta hingga berlalu atasnya waktu setahun." (HR Ibnu Majah).
Kalangan Hanafiyyah berpendapat bahwa yang diperhitungkan adalah awal dan akhir tahun, jika nishabnya lengkap pada awal dan pada akhir tahun, wajib zakat walaupun nishabnya berkurang pada pertengahan tahun selama harta itu tidak habis sama sekali. Jika habis maka haulnya tidak berlaku, kecuali ketika mencapai nishab. Sama saja habisnya itu karena rusak atau karena beralih dari harta wajib zakat menjadi tidak wajib zakat, seperti jika dia memiliki binatang ternak gembalaan (memberi makan tanpa biaya untuk makanan) yang mencapai nishab, kemudian pada pertengahan haul dia memberi ternaknya makanan tanpa gembala (seperti dikandangkan dan diberi pakan tertentu dengan biaya).
Dalam suatu pendapat dari kalangan Hanabilah disebutkan bahwa jika ada nishab untuk setahun penuh namun berkurang sedikit selama sejam dua jam, tetap wajib zakat. Namun, jika kepemilikannya hilang dalam tahun itu karena dijual atau lainnya, kemudian ia kembali memilikinya dengan membelinya, perhitungan tahun atas nishab ini diulang kembali, kerena perhitungan tahun pertama telah terputus dengan menjualnya. Namun, jika ia melakukannya karena siasat untuk menghindari kewajiban zakat, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat.
Adapun kalangan Malikiyyah berpendapat bahwa syaratnya adalah berlalu masa setahun atas kepemilikan nishab, atau kepemilikan harta aslinya. Adapun kepemilikan nishab adalah seperti seseorang yang memiliki empat puluh ekor kambing setahun penuh, sedangkan kepemilikan aslinya adalah seperti memiliki dua puluh ekor kambing pada awal tahun kemudian bertambah dengan kelahiran anak-anak kambing sebelum penuh masa setahun sehingga menjadi empat puluh ekor, dalam hal ini wajib zakat pada keduanya (aslinya dan tambahannya) ketika telah sempurna haul harta asli (20 ekor kambing).
Contohnya juga adalah jika ia memiliki satu dinar emas kemudian ia membeli barang untuk dijual dengan uang itu, kemudian ia menjualnya dengan harga dua puluh dinar sebelum sebelum penuh setahun, ia wajib mengeluarkan zakatnya ketika telah berlalu masa setahun atas kepemilikannya atas satu dinar tadi, dan harta yang digabungkan pada aslinya sehingga dengannya sempurna satu nishab, yaitu anak-anak binatang ternak dan laba perniagaan. Beda dengan harta yang diperoleh dengan cara lain, seperti pemberian dan warisan, maka ini perhitungan tahunnya dimulai sendiri.
Sumber: Al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait
Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Kalangan Hanafiyyah berpendapat bahwa yang diperhitungkan adalah awal dan akhir tahun, jika nishabnya lengkap pada awal dan pada akhir tahun, wajib zakat walaupun nishabnya berkurang pada pertengahan tahun selama harta itu tidak habis sama sekali. Jika habis maka haulnya tidak berlaku, kecuali ketika mencapai nishab. Sama saja habisnya itu karena rusak atau karena beralih dari harta wajib zakat menjadi tidak wajib zakat, seperti jika dia memiliki binatang ternak gembalaan (memberi makan tanpa biaya untuk makanan) yang mencapai nishab, kemudian pada pertengahan haul dia memberi ternaknya makanan tanpa gembala (seperti dikandangkan dan diberi pakan tertentu dengan biaya).
Dalam suatu pendapat dari kalangan Hanabilah disebutkan bahwa jika ada nishab untuk setahun penuh namun berkurang sedikit selama sejam dua jam, tetap wajib zakat. Namun, jika kepemilikannya hilang dalam tahun itu karena dijual atau lainnya, kemudian ia kembali memilikinya dengan membelinya, perhitungan tahun atas nishab ini diulang kembali, kerena perhitungan tahun pertama telah terputus dengan menjualnya. Namun, jika ia melakukannya karena siasat untuk menghindari kewajiban zakat, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat.
Adapun kalangan Malikiyyah berpendapat bahwa syaratnya adalah berlalu masa setahun atas kepemilikan nishab, atau kepemilikan harta aslinya. Adapun kepemilikan nishab adalah seperti seseorang yang memiliki empat puluh ekor kambing setahun penuh, sedangkan kepemilikan aslinya adalah seperti memiliki dua puluh ekor kambing pada awal tahun kemudian bertambah dengan kelahiran anak-anak kambing sebelum penuh masa setahun sehingga menjadi empat puluh ekor, dalam hal ini wajib zakat pada keduanya (aslinya dan tambahannya) ketika telah sempurna haul harta asli (20 ekor kambing).
Contohnya juga adalah jika ia memiliki satu dinar emas kemudian ia membeli barang untuk dijual dengan uang itu, kemudian ia menjualnya dengan harga dua puluh dinar sebelum sebelum penuh setahun, ia wajib mengeluarkan zakatnya ketika telah berlalu masa setahun atas kepemilikannya atas satu dinar tadi, dan harta yang digabungkan pada aslinya sehingga dengannya sempurna satu nishab, yaitu anak-anak binatang ternak dan laba perniagaan. Beda dengan harta yang diperoleh dengan cara lain, seperti pemberian dan warisan, maka ini perhitungan tahunnya dimulai sendiri.
Sumber: Al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait
Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar